Tuesday, November 18, 2008

Kedatuan Sriwijaya

Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama Suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung .

Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di bagian huluan sumatera bagian selatan yang di sebut juga dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), Suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, komring, dan Pasemah. ( Van Royen -1927 )

Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komring di daerah uluan sumatera selatan.

Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat , sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian tinggi..

Nama kerajaan tersebut adalah SRIWIJAYA yang disebut juga dalam kronik china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih

Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618 – 907 ).
Disebut pada satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di translerasikan menjadi Sriwijaya.

Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi negara ini dalam perjalanan menuju India untuk memperdalam ajaran Budha. It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kerajaan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus keutara menuju India.

Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Setiap daerah yang dia taklukkan selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kerajaan Sriwijaya. Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun yang mendiami Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi cikal asal mula system pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.

Kerajaan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya,dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama saerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing , kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari kerajaan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Arab dan China .

Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang menguasai kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .

Para pedagang dari Sriwijaya mulai berkembang pesat mengikuti perkembangan jaman malalui perdagangan ke India maupun ke China sehingga menambah kemakmuran dan kejayaan bagi kerajaan tersebut. Sekarang pun masih kita lihat adanya Makam tua di daerah uluan sungai Komering di dusun Minanga Kecamatan Cempaka Oku Timur Sumatera Selatan yang di ceritakan oleh orang setempat sebagai makam saudagar pinang asal India yang bernama Komering Sing. ( asal mula sungai Minanga berubah menjadi sungai komering )

Seiring itu juga bermunculan para perompak kapal kapal niaga yang membawa barang dagangan yang melintas di perairan pantai timur pulau Sumatera yang membuat risau para pedagang yang melintasi daerah tersebut.Di Daerah sekitar kerajaan juga bermunculan kelompok masyarakat yang satu sama lain saling bertempur dan mulai menggangu lalu lintas perdagangan di daerah sekitar kerajaan Sriwijaya. Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak. Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.

Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dari sang Gaib di gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komring bermuara kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.

Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba).Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )

Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang di daerah Po-Lim-Fong ( palembang ) biasa kita sebut sekarang adalah Bukit Siguntang Mahameru. sebagai titik temu.

Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan sungai Komring. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini merupakan dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di sumatera selatan.
Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi oleh pasukan Kerajaan Sriwijaya.

Pada tanggal 16 Juni 682 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit . Kemudian membangun suatu benteng pertahanan di karenakan dari tempat ini dapat terlihat kelautan lepas kapal – kapal yang mau memasuki pelabuhan palembang.
Kerajaan Sriwijaya adalah pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tidak memperluas kekuasaannya diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500, akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar uluan Palembang, Sumatra. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama - daerah ibukota muara yang berpusatkan Minanga, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara sungai yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.[12] Ibukota diperintah secara langsung oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu lokal.

Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang dan menguasai pelabuhan palembang , maka kemudian yaitu “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikianla pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk.. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganla hendaknya terjadi Curang,Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo )

Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yaitu Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.

Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).

Secara Geografis Palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di laut Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu ( jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang. Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.

Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. [13] . Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya. Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Birahi.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka . Oleh Karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan Bangka Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda Penguasa Lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga.Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.

Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga Mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Syailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari Data yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian Utara . Di Jawa tengah rombongan pasukan yang di pimpim Dapunta Syailendra mendirikan kerajaan sendiri dengan pemerintahan sendiri terpecah dengan kerajaan Sriwijaya. Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di China ( Dinasti Tang ) menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).

Hal ini awalnya membuat Dapunta Hyang Jaya Naga gusar akan akan sikap Dapunta Syailendra untuk mendirikan Negara yang terpisah pemerintahan dengan kerajaan Sriwijaya , namun akhirnya Jaya Naga membiarkannya dengan syarat Syailendra untuk membangun suatu Candi di Ligor ( Muangthai ) atas permintaan Raja Sriwijaya.

Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Syailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan pesan Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Syailendra.
Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah kerajaan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdaganan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .

Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. [15].
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya. [14].

Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )

Di angkat dari Buku :
Periodisasi Kerajaan Sriwijaya
Karangan : H.M. Arlan Ismail, SH ( 2003 )

Monday, September 1, 2008

Permainan Ori'an 20

Persiapan
Permainan ini dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak diatur dalam hal jumlahnya. Dan tidak diperlukan persiapan khusus.

Peralatan
Tidak diperlukan peralatan tertentu

Peraturan
• Personil yang terkena hitungan yang ke-20 merupakan personil pertama kali yang harus mengejar teman-temannya (personal yang ngori’).
• Jika kelompok bermain lebih dari 20 orang, maka setelah hitungan ke-20, hitungan dilanjutkan lagi ke hitungan pertama sehingga setiap personil turut kebagian dalam menghitung. Hitungan berhenti pada hitungan ke-20 berikutnya.

Permainan
Sekelompok orang memulai permainan dengan membuat lingkaran tertutup dengan bergandengan tangan. Salah seorang personail mengambil inisiatif sebagai hitungan pertama. Dilanjutkan dengan hitungan kedua, ketiga, dan seterusnya kearah kanan personil hitungan pertama. Personil yang terkena hitungan yang ke-20 akan menjadi personil pertama yang mengejar (ngori’).
Personil yang bisa dikejar dan disentuh oleh pengejar pertama, bersama-bersama dengan pengejar pertama akan ikut mengejar (ngori’) teman-teman yang belum terkejar. Demikian seterusnya personil yang terkejar dan disentuh oleh pengejar akan ikut mengejar. Sehingga para pengejar akan semakin banyak dan bahu membahu mengejar teman-temannya yang belum terkejar.

Akhir Permainan
Tidak ada istilah menang dan kalah dalam permainan ini. Permainan ini berakhir jika tidak ada lagi personil yang harus dikejar dan diburu.

Permainan Bentengan

Persiapan
Dalam permainan bentengan sekelompok anak-anak membagi diri menjadi dua kelompok yang akan saling berlawanan. Anak mana ikut kelompok mana biasanya ditentukan melalui suit jari tangan. Setelah terbentuk dua kelompok yang saling berhadapan, mereka mencari posisi masing-masing sebagai basis mereka atau yang di sebut dengan benteng.

Peralatan
Permainan ini tidak menggunakan alat apa pun. Permainan ini hanya membutuhkan tempat yang ditentukan sebagai basis atau benteng. Masing-masing benteng kedua belah pihak harus terletak agak berjauhan dan dapat dilihat oleh satu sama lain.

Peraturan
• Setiap personil pada kedua benteng harus menyentuh benteng. Hal ini menandakan bahwa status personil tersebut adalah baru. Kalo dia agak lama tidak menyentuh benteng, maka status personil tersebut akan disebut lamo.
• Personil yang berstatus lamo, dapat dikejar, diburu, dan ditawan oleh personil dari benteng lawan yang berstatus baru.
• Jika personil lamo sedang berada atau berlari di luar benteng dapat menjadi tawanan lawan jika disentuh oleh personil dari benteng lawan yang berstatus baru.
• Personil yang menjadi tawanan akan berdiri bergandengan di dekat benteng lawan yang menawannya. Para tawanan tidak dapat lagi bebas memburu atau menyerang sampai mereka dapat dibebaskan.
• Para tawanan dapat dibebaskan oleh teman dari bentengnya dengan cara menyentuh teman-temannya yang menjadi tawanan tersebut.

Permainan
Biasanya permainan dimulai dengan majunya salah satu personil dari salah satu benteng untuk menantang benteng lawannya. Personil yang maju ini berstatus lamo. Personil benteng lawannya akan maju mengejarnya. Personil pemburu ini berstatus baru. Jika personil lamo ini dapat terkejar dan disentuh oleh personil lawan yang baru, maka personil lamo dapat ditawan di benteng lawannya. Biasanya personil lamo akan berlari menghindar atau kembali ke bentengnya. Teman dari benteng personil lamo ini yang berstatus lebih baru, akan mengejar personil dari benteng lawan yang memburu tadi. Demikian seterusnya sehingga terjadi saling kejar mengejar antar personil kedua benteng.
Sering terjadi salah satu benteng kehabisan personil karena ditawan dan bentengnya dikepung oleh lawannya. Lawan pengepung ini dapat membebaskan teman-temannya yang juga menjadi tawanan dan dijaga oleh personil di benteng lawannya. Setelah dibebaskan, para mantan tawanan ini dapat turut mengepung benteng lawannya. Sisa personil dari benteng yang terkepung dapat mengejar para pengepung yang berstatus lebih lamo untuk mempertahankan bentengnya, atau balik mengirimkan penyerang ke benteng pengepung jika benteng para pengepung tidak ada penjaganya.

Akhir Permainan
Satu kelompok dapat memenangkan permainan jika salah satu personil mereka dapat menyentuh benteng lawan tanpa disentuh oleh lawan yang mempertahankan benteng yang diserang tersebut.
Setelah ada yang menang dan kalah, maka permainan selesai dan dapat dimulai kembali dari awal.

Thursday, August 28, 2008

Kesultanan Palembang Darussalam (1550 – 1823)

Sejarah mengenai Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam, konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa damar = dillah = lampu).

Ario Dillah mendapat hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah lain bapak.

Setelah kerajaan Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa, menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya (kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.

Hubungan Palembang dengan Demak

Raja Kerajaan Demak Raden Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65 tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.

Dalam kemelut yang terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang.

Hubungan Palembang dengan Mataram

Pindahnya pusat kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram. Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 – 1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang (diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.

Tetapi tidak lama kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah seberang termasuk Palembang juga merenggang.

Hubungan Palembang dengan VOC

Palembang yang semula merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC, dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC. VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya Palembang tidak mudah digertak begitu saja.

Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang didampingi istrinya Ratu Sinuhun di Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita sebuah jung Cina bermuatan lada.

Kemudian VOC menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l. Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz. Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24 November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka Tiga).

Perang Palembang — Kompeni yang pertama dimulai 4 November 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurangajaran hasil wakil VOC di Palembang, dengan armada terbesar di bawah pimpinan Laksamana Joan van der Laen. Palembang akhirnya dapat direbut Belanda pada tanggal 23 November 1659. Keraton Kuto Gawang dan permukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Kuta tersebut dibakar habis selama 3 hari dan 3 malam. Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan).